Minggu, 15 Maret 2015

Filosofi UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas




Proses belajar mengajar sebenarnya adalah seni tingkat tinggi. Betapa tidak, banyak hal yang terjadi pada lintasan informasi antara pemberi informasi (guru) dan penerima informasi (siswa). Sebagai pemberi informasi (guru) harus berpikir positif bahwa informasi yang diberikan kepada siswa-siswanya ‘mestinya’ mampu ditanggap, dipahami, atau dimengerti oleh semua siswanya.
Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan, sering kali hari ini guru memberi informasi, besiknya siswanya lupa. Penyebabnya tidak lain adalah :
1)      Pihak guru sebagai pihak pemberi informasi. Banyak guru sangat baik dalam membuat rencana pembelajaran tapi penyampainnya menjadi tidak menarik di dalam kelas disebabkan belum menguasai cara berkomunikasi yang baik dengan siswanya.
2)      Pihak siswa sebagai penerima informasi. Siswa harus berusaha menangkap informasi yang disampaikan guru, sesuai dengan gaya belajarnya. Setiap orang mempunyai gaya belajar masing-masing. Dan jumlah gaya belajar siswa yang beraneka ragam ini seringkali menimbulkan masalah dengan guru.
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Potensi diri siswa sangat beraneka ragam karena pada dasarnya setiap manusia lahir membawa bakatnya sendiri. Oleh karena itu, guru dalam mengajar siswa harus mampu mengajar dengan menyesuaikan dengan kecenderungan kecerdasan siswanya. Guru tidak hanya berperan menstransfer ilmu kepada siswa namun guru harus mampu untuk memahami bahwa siswa adalah manusia yang memiliki harga diri, berhak menerima keceriaan di sekolah sehingga perkembangan kesehatan mental siswa dapat dioptimalkan.
Di  dalam proses belajar mengajar, guru sering kali lupa bahwa proses belajar mengajar pada dasarnya bagaimana membelajarkan peserta didik dan bukan pada apa yang dipelajari peserta didik. Dengan demikian, proses belajar mengajar menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami kekhasan peserta didik.
Setiap manusia yang lahir sudah memiliki potensi yang meliputi : daya taqwa, cipta (mampu berpikir), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa), dan berkarya (karya). Oleh karena itu guru sebagai pendidik harus menyadari dan memahami bahwa siswa adalah manusia yang memiliki potensi-potensi tersebut. Untuk itu, penting bagi guru agar berupaya mengembangkan potensi peserta didiknya agar menjadi manusia yang mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa sekaligus membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Learning is to gets something new. Guru sebagai pemberi informasi harus mampu memberikan sesuatu hal kepada peserta didik, baik diranah kognitif (pengetahuan) maupun diranah afektif (rasa). Proses belajar mengajar harus dilakukan oleh guru dengan high touch education yaitu pembelajaran dengan mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak didik di sekolah, yaitu dengan kasih sayang terhadap anak didik, penghargaan atau pujian terhadap peserta didik, memberikan keteladan, ketegasan dalam mendidik dan bukan menghukum siswa. Dengan high touch education, guru harus mampu mengembangkan potensi peserta didiknya dengan pendekatan hati yakni dengan cara menyentuh pikirannya, menyentuh perasaannya, dapat merubah sikapnya, dan dapat membuat siswa lebih bertanggung jawab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar